Khilmi Mauliddian, S.Hum., M.Li.
Pengajar BIPA Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya
Khilmi (dua dari kanan) bersama Mahasiswa BIPA KNB UB
Belajar mencintai Indonesia, begitulah mungkin istilah yang tepat disematkan untuk pemelajar asing yang tengah belajar BIPA (Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing). Pembelajaran bukan semata hanya pada bagaimana bisa berbahasa Indonesia. Namun, BIPA dapat diartikan sebagai pintu untuk mengenalkan Indonesia lebih dekat.
BIPA memang sebuah program pembelajaran bahasa Indonesia yang dikhususkan bagi mahasiswa asing. Namun, sesungguhnya lebih dari itu. BIPA dapat dikatakan sebuah kesempatan bagi kita bangsa Indonesia untuk mengenalkan dan membumikan nilai-nilai luhur budaya bangsa pada dunia internasional. Mengenalkan makna spirit keramahan, gotong-royong, kesederhanaan, rasa syukur, dan lain sebagainya yang tecermin dalam kepribadian bangsa kita.
Mengajar BIPA juga siap menerima banyak pengalaman. Pengalaman yang tentunya hanya dapat dirasakan oleh para pengajar maupun pemelajar. Saya teringat ketika kali pertama mengajar BIPA di sebuah kelas. Dapat dikatakan kelas itu hanya kelas kecil. Ya kecil, hanya beberapa orang mahasiswa asing saja. Namun, dari kelas kecil inilah, banyak lahir dan hadir bermacam pertanyaan dan keingintahuan. Uniknya, kemudian kelas tersebut menjadi ruang diskusi hangat, membahas, dan menjelaskan hal-hal dengan berbagai macam sudut pandang baik tentang Indonesia maupun tentang negara para pemelajar. Dapat dikatakan, hadirnya kelas BIPA menjadi kesempatan untuk bisa saling bertukar pandangan dan pengetahuan antarnegara .
Sisi tentang mengajar BIPA yang lain, kadang saya menemukan selera humor mahasiswa yang unik. Dengan kata lain, humor bisa menjadi bagian yang sangat penting apabila mampu mengakomodasinya. Waktu itu saya memberi nasihat pada mahasiswa agar selalu belajar menggunakan bahasa Indonesia dengan baik. Maksud saya, karena mereka sedang di Indonesia sebisa mungkin kesempatan itu dimanfaatkan dengan baik dengan selalu menggunakan bahasa Indonesia. Kemudian salah satu mahasiswa dari Korea Selatan tiba-tiba menyahut dengan pelan dan terbata dalam bahasa Indonesia, “Yaa…baik… Maaf.. Pak Khilmi, saya sudah lupa bahasa Korea, karena saya.. ter.. la.. lu banjak makan nasi goreng.. di sini.. ya… “ Tak pelak seluruh kelas pun tertawa. Tentunya, celetukan tersebut menjadikan suasana kelas menjadi riang.
Saat mengajar BIPA bukan hanya sisi asyiknya saja. Tantangan lain juga banyak terutama bagaimana membangun strategi mengajar secara konsisten untuk membuat pemelajar selalu semangat, senang, dan bangga belajar bahasa Indonesia. Mengingat, bagi pemelajar, Indonesia adalah negara asing yang tentunya banyak hal berbeda dengan mereka. Bentuk tantangan umum yang kerap kali hadir adalah saat pemelajar mengalami kesulitan soal adaptasi. Terutama adaptasi dengan budaya, iklim, sosial, dan makanan. Hal tersebut sering kemudian dicurhatkan di kelas sehingga mau tidak mau sebagai pengajar juga harus siap mejadi konselor atau teman bicara terkait apa yang mereka alami.
Pengalaman di atas hanyalah sedikit contoh dari apa yang saya alami. Tentunya setiap pengajar pasti memiliki pengalaman yang berbeda-beda. Namun bagi saya, sejak mendapat pengalaman di atas, saya kemudian memaknai bahwa BIPA bukan sekadar mengajarkan bahasa. Melainkan, menjadi pengajar BIPA ibarat miniatur diplomat. Di mana, selain berperan untuk promosi, juga turut andil dalam mewujudkan hubungan baik antarnegara namun dengan jalur pengajaran bahasa.
Oleh sebab itu, wujud keberhasilan dalam pengajaran BIPA dapat dilihat saah satunya sejauh mana pengajaran itu sebenarnya bisa membuat kesan baik. Kesan yang nantinya saat pascastudi diharapkan para pemelajar kemudian mau menceritakan betapa indah dan luhurnya negeri ini di negaranya. Berharap kemudian terus bisa terjalin hubungan harmonis dengan mengutamakan arti persahabatan dan persaudaraan antarnegara. Pada akhirnya nama baik Indonesia juga semakin kokoh di mata dunia Internasional. [khilmi/dts/Humas FIB]