Hall Gedung A Fakultas Imu Budaya (FIB) Universitas Brawijaya (UB) dipadati oleh puluhan mahasiswa yang berminat mengikuti diskusi seputar feminisme dan kolonialisme pada Selasa (21/2/2024). Beberapa dosen pun turut hadir dalam kuliah umum dan movie screening FIB UB dengan tema Female Voices and Colonialism. Wendelien van Olderborgh, seniman dan filmmaker berkebangsaan Belanda, hadir sebagai narasumber. Karya-karyanya yang memiliki estetika tinggi menjadi angin sejuk dalam upaya mempelajari isu-isu penting yang seringkali dianggap berat.

Acara dibuka dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya, diikuti oleh sambutan dari Fatimah S.Pd., M.Appl.Ling., plh. Wakil Dekan Bidang Akademik. Ia mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada tim penyelenggara dan menekankan pentingnya belajar melalui media seni.

“Di fakultas kami, salah satu program studinya adalah Seni Rupa Murni. Pada program studi lainnya pun kami menawarkan mata kuliah yang berhubungan dengan seni, seperti film dan theater and performance. Jadi, saya yakin seluruh mahasiswa dan dosen yang hadir akan mendapatkan wawasan yang berharga dari diskusi hari ini. Semoga acara ini dapat menjadi awal dari diskusi-diskusi lain yang lebih mendalam,” ucap Fatimah.

Sambutan berikutnya disampaikan oleh Fitriana Puspita Dewi, M.Si., P.Hd., Ketua Laboratorium Ilmu Humaniora FIB UB. Dalam sambutannya, ia menjelaskan fungsi laboratorium humaniora sebagai wadah diskusi-diskusi antar mahasiswa, dosen, dan narasumber-narasumber di bidang humaniora. Ia pun memberikan sedikit pengantar mengenai tema film yang akan ditayangkan pada movie screening ini.

Tak lama, Wendelien van Oldenborgh sebagai pemateri dan Ni Made Savitri Paramita S.S., M.A., dosen Program Studi (PS) Sastra Jepang sekaligus moderator kuliah umum, naik ke atas panggung. Ni Made membuka sesi movie screening dengan memperkenalkan narasumber, latar pelakang, serta karya-karyanya. Setelahnya, Wendelien diminta untuk memberikan pengantar untuk film “of girls yang akan ditayangkan. Ia menceritakan sedikit proses di balik produksi film tersebut, dimana ia tidak melibatkan aktor, melainkan orang-orang yang memiliki ketertarikan pada fokus utama film ini, yaitu isu feminisme dalam sastra Jepang karya dua penulis wanita pada akhir tahun 20-an.

“Film ini dibuat bersama-sama, dengan orang yang akan kalian lihat di film. Mereka bukan aktor. mereka orang-orang yang memiliki ketertarikan dalam hal yang ingin saya bahas. Dalam hal ini, ada dua penulis wanita yang memiliki pandangan kuat mengenai feminisme dalam tulisan mereka. Ada juga hal lain yang mereka bicarakan. Lambat laun, kami juga menyentuh subyek-subyek itu sepanjang film,” jelas sutradara yang senang bereksperimen ini.

“Mari kita tonton langsung saja filmnya!” pungkasnya.

Tak lama, film “of girls” pun ditayangkan. Perasaan takjub segera meliputi para peserta yang hadir. Perpaduan antara estetika dan diskusi mendalam mengenai isu feminisme, kolonialisme, dan seksualitas memberikan pengalaman yang berbeda pada movie screening kali ini. Tanpa terasa, empat puluh menit berlalu. Credit title mulai ditampilkan, menandakan berakhirnya film.

Setelah dipersilakan, beberapa mahasiswa dan dosen mengajukan pertanyaan. Salah satunya adalah Royhan Abdiel, mahasiswa PS Sastra Inggris.

“Saya suka sekali film Anda. Terima kasih telah membuat karya yang indah ini. Pertanyaan saya, ketika membuat film ini, apa yang ingin Anda sampaikan kepada penonton? Apa yang Anda harapkan bisa penonton dapatkan setelah menonton film ini?” tanyanya.

Wendelien menjelaskan bahwa ia pun penasaran dengan diskusi yang akan muncul dari “aktor-aktor” di film ini. Ia tidak bermaksud menyampaikan suatu gagasan tertentu mengenai karya sastra yang didiskusikan. Tujuan pembuatan film ini adalah untuk memancing rasa penasaran dan pertanyaan-pertanyaan dari penikmat film ini terhadap isu feminisme, seksualitas, dan kolonialisme.

Wendelien melanjutkan movie screening dengan presentasi mengenai arsitektur lokasi-lokasi dalam filmnya. Ia secara rinci menjelaskan tentang pemilihan lokasi-lokasi tersebut, serta mengungkapkan makna dan rasa yang ingin disampaikan melalui setiap detailnya. Dengan penuh semangat, ia menguraikan bagaimana setiap lokasi dipilih untuk memberikan kesan tertentu dalam film. Penjelasannya memberikan wawasan yang mendalam tentang proses kreatif di balik pembuatan film dan bagaimana setiap elemen dalam produksi seni dapat digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan yang mendalam kepada penonton.

Latar belakang dan ketertarikannya di bidang seni juga dibahas. Ia memperkenalkan seniman-seniman wanita Indonesia dengan perspektif menarik tentang feminisme yang juga mengalami era kolonialisasi. Masih dalam isu yang sama, Wendelien meminta kesempatan untuk menayangkan cuplikan filmnya yang lain, Film “Hier” yang mengupas isu feminisme dan kolonialisme melalui musik dan puisi.

Acara meriah itu diakhiri dengan hangatnya ucapan terima kasih dari Wendelien van Oldenborgh kepada FIB UB serta seluruh peserta yang telah menyumbangkan waktu dan perhatiannya. Wendelien mengungkapkan harapannya agar diskusi-diskusi semacam ini dapat lebih sering dilakukan di lingkungan kampus maupun masyarakat luas.

Ia menegaskan bahwa ruang untuk berdialog tentang isu-isu seperti feminisme, kolonialisme, dan perempuan dalam seni adalah sangat penting untuk diberikan. Dengan bersimpati dan kepedulian, ia mengajak semua yang hadir untuk terus mendukung dan memperluas ruang-ruang dialog yang terbuka dan inklusif, dimana berbagai perspektif dan pengalaman dapat bertemu dan saling berbagi demi mewujudkan pemahaman yang lebih dalam tentang dunia kita yang kompleks ini. [acl/dts/Humas FIB]

error: Content is protected !!