Menjelajahi Budaya Digital dengan Pendekatan Kritis di Era AI Generatif

Sebagai bagian dari komitmen untuk mengembangkan Center of Excellence di bidang Digital Humanities, Program Studi Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Brawijaya (UB), menggelar Lokakarya Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Exploring Digital Cultures: Critical Approaches in a Global Context”. Acara yang berlangsung pada Senin (11/11/2024) di Ruang 2.1-2.2 Gedung A FIB UB ini menghadirkan Dr. Matti Pohjonen, seorang peneliti Digital Humanities dari Universitas Helsinki, Finlandia, sebagai narasumber.

Dalam paparannya, Dr. Matti menekankan pentingnya teknologi AI Generatif dalam penelitian kontemporer, khususnya di bidang ilmu sosial dan humaniora. Menurutnya, ada tiga faktor utama yang mendasari relevansi AI Generatif dalam penelitian saat ini: (1) Ledakan Data Digital: Data yang terkumpul melalui media sosial, self-tracking, web cookies, dan digital footprints memberikan gambaran luas tentang dunia kita, (2) Kemajuan Komputasi: Ketersediaan teknologi komputasi yang semakin murah dan canggih memungkinkan pengolahan data dalam skala besar, dan (3) Inovasi Teknologi yang Pesat: Perkembangan teknologi berbasis AI, seperti large language models (LLMs), ChatGPT, dan text-to-image generation, membuka peluang baru dalam analisis data.

“AI Generatif dapat menjadi alat yang kuat untuk mendukung penelitian, terutama untuk pendekatan-pendekatan berbasis data besar,” ungkap Dr. Matti.

Namun, ia juga menggarisbawahi tantangan yang perlu diatasi dalam penggunaan AI Generatif. Salah satu isu utama adalah keterbatasan data yang digunakan untuk melatih model AI. Masalah ini mencakup (1) kurangnya keragaman data, terutama terkait bahasa dan budaya, dan (2) representasi data yang bias, di mana sebagian besar data berasal dari negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat. Hal ini menciptakan perspektif yang tidak mewakili negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

Menjelajahi Budaya Digital dengan Pendekatan Kritis di Era AI Generatif

Dr. Matti menjelaskan bahwa salah satu tantangan signifikan adalah minimnya data dari negara-negara di belahan bumi selatan. Bahkan, ketika data tersedia, sering kali perspektif yang dominan tetap berasal dari negara-negara maju.

“Kondisi ini melebih-lebihkan sudut pandang negara-negara seperti AS terhadap belahan bumi selatan, alih-alih menghadirkan pandangan yang lebih autentik dari negara-negara tersebut,” tegasnya.

Namun demikian, Dr. Matti optimistis bahwa AI Generatif juga menawarkan peluang baru dalam penelitian humaniora. Misalnya, dengan pendekatan yang lebih kontekstual, AI dapat digunakan untuk analisis etnografi digital dan wacana. Dari sisi kuantitas data, metode analisis konten berbasis komputasi, seperti LLMs, dapat diterapkan untuk menghasilkan wawasan yang lebih mendalam.

Ia juga merekomendasikan sejumlah sumber literatur untuk memahami lebih jauh penerapan AI Generatif, di antaranya artikel “Automating Thematic Analysis” oleh Awais Hameed Khan dan tim, serta “Large Language Models” oleh Michael Heseltine dan Bernard.

Sebagai penutup, Dr. Matti menekankan pentingnya tanggung jawab dalam penggunaan AI Generatif, terutama di kalangan akademisi.

“Sebagai pengajar, kita perlu memberikan panduan kepada siswa untuk menggunakan teknologi ini secara bijak,” ujarnya.

Lokakarya ini tidak hanya memperluas wawasan tentang AI Generatif, tetapi juga mendorong kolaborasi lintas disiplin untuk memahami budaya digital dalam konteks global. Dengan demikian, AI Generatif dapat menjadi alat strategis dalam penelitian yang lebih inklusif dan berkelanjutan di era digital. [dts/Humas FIB]